Posts

Showing posts from February, 2018

Santri Tambakberas Lazimkan Ziarah Sebelum Terjun di Masyarakat Kelak

Image
Santri Tambakberas Lazimkan Ziarah Sebelum Terjun di Masyarakat Kelak Sejumlah santri putri Pondok Pesantren Al-Mubtadi'ien Tambakberas Kabupaten Jombang setiap dua pekan sekali istiqamah menziarahi makam para ulama juga pendiri NU di lingkungannya. Kegiatan ini juga sudah jadi program rutinitas pesantren setempat. Diski Nia, salah seorang santri putri, mengatakan, melestarikan kegiatan ziarah makam ulama bagi santri dan warga nahdliyin sudah sepantasnya terus dilakukan. Meski demikian itu sudah bukan hal yang asing lagi di kalangan santri. "Adapun untuk tujuannya, tabarrukan kepada masyayikh yang telah mendahului kita. Dan melestarikan budaya nahdliyin, yakni ziarah makam masyayikh, pendiri dan penggerak NU," kata Diski, Ahad (18/2). Di balik kegiatan rutinitas ini, menurutnya, ada upaya edukasi tersendiri bagi para santri. Mereka dituntut untuk memahami bacaan tahlil dan istighotsah dengan baik dan benar hingga hafal. Di samping itu, setiap mel

Wanita Cantik Negeri Tetangga Nyantri di Tambakberas

Image
Wanita Cantik Negeri Tetangga Nyantri di Tambakberas Namanya Siti Fatimah binti Azman. Usianya baru 21 tahun, namun semangat dalam memperdalam agama tidak surut. Rela meninggalkan kegiatan bisnis yang digeluti demi mendapatkan tambahan pengetahuan agama di Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang. “Saya merasa pengetahuan agama Islam yang diajarkan selama di sekolah kurang memadai,” katanya, Selasa (20/2). Karena materi keagamaan hanya disampaikan sebentar. Itupun sehari dalam sepekan, lanjutnya. Atas jasa dan izin orang tuanya,  Azman bin Jalani dan Sharifah Bee binti Abdul Rozak, perempuan berparas ayu ini rela nyantri selama kurang lebih dua bulan. Kesempatan tersebut dimanfaatkan untuk menimba pengetahuan agama dari membaca Al-Qur’an, tafsir, tauhid, hingga sejarah para nabi. “Masih berjalan dua pekan, namun sudah banyak yang bisa saya cerna,” katanya saat ditemui di Madrasah Aliyah Unggulan KH Abdul Wahab Hasbulloh atau MAUWH Tambakberas.   Terhit

Hj. Moesjarrofah, Perhatian terhadap Keluarga, Santri, Masyarakat dan Organisatoris Sejati

Image
Hj. Moesjarrofah, Perhatian terhadap Keluarga, Santri, Masyarakat dan Organisatoris Sejati Hj. Moesjarrofah merupakan putri keempat KH. Bisri Syansuri dan Hj. Chadidjah. Beliau lahir pada 31 Desember 1925 bertepatan dengan 15 Jumadil Akhir 1344 H. Beliau merupakan istri dari KH. Abdul Fattah (Bapak pendidikan Bahrul ‘Ulum). Saat melangsungkan pernikahan yang tepatnya pada tahun 1938 beliau masih berusia 12 tahun, sedangkan KH. Abdul Fattah berusia 25 tahun. Dari pernikahan tersebut, beliau dikaruniai 12 putra dan putri (3 putra dan 9 putri) yaitu: (1) Fatimah; (2) Mu’izah; (3) Nafisah; (4) Hurriyah; (5) Mahsunah; (6) Muthmainnah; (7) Hubbi Syauqi; (8) Lilik Muhibbah; (9) Abdul Nashir; (10) Ahmad Taufiqurrahman; (11) Syafiyah; (12) Bani (meninggal saat kecil). Hj. Moesjarrofah merupakan sosok yang sangat memperhatikan pendidikan putra-putrinya. Dalam banyak hal, Hj. Moesjarrofah juga tauladan yang dapat dijadikan uswah bagi putra-putrinya dan para santri khususnya per

Gunung Pawitra dan Urgensi Air pada Masyarakat Jawa Kuno

Image
Gunung Pawitra dan Urgensi Air pada Masyarakat Jawa Kuno Air memang menjadi hal yang sama sekali tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia diberbagai zaman. Air juga menjadi hal penting sebagai salah satu alat ritual keagamaan pada hampir semua agama, misalnya sebagai alat untuk menyucikan diri. Pada masyarakat Hindu-Buddha Jawa kuno, air merupakan satu dari lima unsur alam semesta besar (panca mahabutha) antara lain: akasa (angkasa), bayu (angin), teja (cahaya), apah (air atau zat cair), dan prthiwi (bumi, zat padat). Dilihat dari kesuciannya, air dibedakan menjadi 2 yaitu air biasa (profan) dan air suci (sakral). Pengertian air baik amrta atau tirtha (air abadi atau air penghidupan) sangat dihayati betul oleh masyarakat Jawa Kuno. Hal ini bisa dibuktikan dengan adanya arca atau candi yang dibangun dekat dengan sumber air, kemudian dialirkan menuju lahan persawahan dan ladang milik penduduk. Masyarakat Jawa kuno sadar bahwa tersedianya pangan tidak bisa dilepaskan den